Senin, 22 April 2013

HUKUM PERIKATAN


Nama      : DIANA APRIANTI
Npm       : 22211042
Kelas      : 2 EB 24

4. HUKUM PERIKATAN

1)      Pengertian

Hukum Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal yang mengikat orang yang satu dengan orang yang lain.

Hal – hal  yang mengikat orang yang satu dengan yang lain antara lain :
·         Perbuatan
Seperti : jual beli barang.
·         Peristiwa
Seperti : lahirnya seorang bayi
·         Keadaan
Seperti : letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan
   atau letak rumah yang bersusun (rusun).

Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka pembentuk undang-undang atau masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Dari rumusan ini diketahui bahwa perikatan terdapat dalam bidang antara lain :
·         Bidang hukum harta kekayaan (law of property)
·         Bidang hukum keluarga (family law)
·         Bidang hukum waris (law of succession)
·         Bidang hukum pribadi (personal law).

2)      Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan di Indonesia yaitu perjanjian dan undang-undang,  sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan undang-undang :
·         Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) :  Perikatan yang lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.  Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
·          Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
·         Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata :
·         Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
·         Perikatan yang timbul dari undang-undang
·         Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

3)      Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata antara alain :
·         Asas Kebebasan Berkontrak
Terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·         Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, yaitu  bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat antara lain :
·         Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Artinya mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
·         Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, seperti : telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
·         Mengenai Suatu Hal Tertentu
Artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
·         Suatu sebab yang Halal
Artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

4)      Wanprestasi dan akibat-akibatnya

Ø  Pengertian Wanprestasi

Yaitu Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
·         tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
·         melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
·         melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
·         melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 
Ø  Akibat-akibat
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas. 

Sanksi yang dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa antara lain : 
·         Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi
·         Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian
·         Peralihan resiko
·         Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. 

1)      Membayar Kerugian
·         Biaya
Yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.
Contoh :  jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. 
·         Rugi
Yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
Contoh : rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah. 
·         Bunga
Yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Contoh : hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya. 
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsure antara lain :
·         dommages  
Yaitu biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas
·         interests.
Yaitu  sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan. 
2)      Pembatalan Perjanjian
Yaitu bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan. 

Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi: 

Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”. 

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”. 


3)      Peralihan Resiko
Sebagai sansi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksud dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. 

Peralihan resiko dapat digambarkan demikian : 
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia. 

4)      Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. 

Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai antara lain: 
·      pemenuhan perjanjian
·      pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
·      ganti rugi
·      pembatalan perjanjian
·      pembatalan disertai ganti rugi.

5)      Hapusnya Perikatan

Meskipun suatu perjanjian di harapkan dapat terlaksana sebagaimana kehendak awal para pihak. namun sebuah perjanjian terkadang di hadapkan dengan one prestasi atau kelalaian salah satu pihak dalam melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

Berikut dikemukakan berbagi hal yang dapat mengakibatkan hapusnya perikatan pasal 1381 KUH.Pdt. Mengenai cara hapusnya suatu perikatan antara lain :
                    i.      Pembayaran
Yaitu undang-undang dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
                  ii.      Penawaran pembayaran tunai disertai dengan penitipan (consignatie),
ialah pihak kreditur tidak bersedia menerima pembayaran, hal ini tentunya akan menimbulkan kesukaran.
Seperti:  pembayaran bunga. Keadaan tersebut mempunyai cara untuk mengatasinya yaitu dengan menawarkan secara resmi (perantaraan seorang notaries atau seorang jurusita pengadilan), barang atau uang.
                iii.      Pembaharuan utang
 ialah suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama sambil meletakkan suatu perjanjian baru.
                iv.      Perjumpaan hutang (compensasi)
ialah jika seorang yang berhutang mempunyai suatu piutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.
                  v.      Percampuran hutang
ialah jika siberpiutang dalam percampuran kekayaan. Siber piutang atau jika siber piutang menggantikan hak-hak siber piutang karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya.
                vi.      Pembebasan hutang
Yaitu suatu perjanjian baru dimana siber piutang dengan suka rela membebaskan siber hutang dari segala kewajiban, Pembebasan itu diterima baik oleh siber hutang.
              vii.      Musnahnya benda yang berutang
Menurut pasal 1444 KUH.Pdt. jika suatu barang tertentu yang dimaksud musnah/hapus karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keberadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus/musnahnya barang itu sama sekali diluar kesalahan siberhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkan.
            viii.      Pembatalan perjanjian
Yaitu dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, dibuat karena paksaan, kehilapan atau penipuan ataupun mempunyai sebab yang bertentangan dengan unang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara dua pihak dikembalikan. seperti : pada waktu perjanjian belum dibuat.
                ix.      Berlakunya syarat batal
Yaitu  waktu membahas perikatan bersyarat. Hal ini yang perlu diingatkan lagi ialah bahwa dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamnya berlaku surut hingga lahirya perjanjian.
                  x.      Lewat waktu/daluwarsa
Yaitu perihal lewat waktu/daluwarsa secara khusus akan dibahas dalam buku IV KUH.Pdt.

SUMBER :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar