Nama : DIANA APRIANTI
Npm : 22211042
Kelas : 2 EB 24
4. HUKUM PERIKATAN
1) Pengertian
Hukum Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”.
Istilah
perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan
dalam hal yang mengikat orang yang satu dengan orang yang lain.
Hal
– hal yang mengikat orang yang satu
dengan yang lain antara lain :
·
Perbuatan
Seperti
: jual beli barang.
·
Peristiwa
Seperti
: lahirnya seorang bayi
·
Keadaan
Seperti
: letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan
atau letak rumah yang bersusun (rusun).
Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka pembentuk undang-undang atau masyarakat sendiri diakui dan
diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang
yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dari
rumusan ini diketahui bahwa perikatan terdapat dalam bidang antara lain :
·
Bidang hukum harta kekayaan (law of property)
·
Bidang hukum keluarga (family law)
·
Bidang hukum waris (law of
succession)
·
Bidang hukum pribadi (personal law).
2) Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum
perikatan di Indonesia yaitu perjanjian dan undang-undang, sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi
menjadi undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan
manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang
melawan hukum.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan undang-undang :
·
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena suatu persetujuan
atau karena undang-undang. Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
·
Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan yaitu suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
·
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) :
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata :
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan (
perjanjian )
·
Perikatan yang timbul dari undang-undang
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan
sukarela ( zaakwaarneming )
3) Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku
III KUH Perdata antara alain :
·
Asas Kebebasan Berkontrak
Terlihat di
dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian
yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas konsensualisme
Asas
konsensualisme, yaitu bahwa perjanjian
itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal
yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat antara lain :
·
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan
Diri
Artinya mengikatkan
diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia
sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
·
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Artinya bahwa
para pihak harus cakap menurut hukum, seperti : telah dewasa (berusia 21 tahun)
dan tidak di bawah pengampuan.
·
Mengenai Suatu Hal Tertentu
Artinya apa
yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
·
Suatu sebab yang Halal
Artinya isi
perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
4) Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Ø
Pengertian Wanprestasi
Yaitu Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan,
maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”.
·
tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya
·
melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan
·
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat
·
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
Ø Akibat-akibat
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan
suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi
si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan,
pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak
seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang
pantas.
Sanksi yang dikenakan
atas debitur yang lalai atau alpa antara lain :
·
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur
atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi
·
Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan
pemecahan perjanjian
·
Peralihan resiko
·
Membayar biaya perkara, kalau sampai
diperkarakan di depan hakim.
1) Membayar
Kerugian
·
Biaya
Yaitu segala
pengeluaran atau perongkosan yang nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.
Contoh : jika seorang sutradara mengadakan suatu
perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan
pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka
yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan
lain-lain.
·
Rugi
Yaitu
kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur.
Contoh :
rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya,
hingga merusak perabot rumah.
·
Bunga
Yaitu kerugian
yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditur.
Contoh : hal
jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi
dari harga pembeliannya.
Code Civil
memperinci ganti rugi itu dalam dua unsure antara lain :
·
dommages
Yaitu biaya dan rugi seperti
dimaksudkan di atas
·
interests.
Yaitu sama dengan bunga dalam arti kehilangan
keuntungan.
2)
Pembatalan Perjanjian
Yaitu bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan berlaku surut sampai pada detik
dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak
yang lain, baik uang maupun barang, maka harus dikembalikan. Pokoknya,
perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan
perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang
mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat
batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal
demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan
atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu
bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal
secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan
hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara
aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan
batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan
perjanjian”.
3) Peralihan
Resiko
Sebagai sansi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam
pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksud dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang
menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan
resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu
dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si
penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan
mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya
sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4) Membayar
Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi
seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara,
bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal
1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai antara lain:
·
pemenuhan perjanjian
·
pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
·
ganti rugi
·
pembatalan perjanjian
·
pembatalan disertai ganti rugi.
5) Hapusnya Perikatan
Meskipun suatu perjanjian di harapkan dapat terlaksana sebagaimana
kehendak awal para pihak. namun sebuah perjanjian terkadang di hadapkan dengan
one prestasi atau kelalaian salah satu pihak dalam melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya.
Berikut dikemukakan
berbagi hal yang dapat mengakibatkan hapusnya perikatan pasal 1381 KUH.Pdt.
Mengenai cara hapusnya suatu perikatan antara lain :
i.
Pembayaran
Yaitu undang-undang
dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian
secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
ii.
Penawaran pembayaran tunai disertai dengan penitipan
(consignatie),
ialah pihak
kreditur tidak bersedia menerima pembayaran, hal ini tentunya akan menimbulkan
kesukaran.
Seperti: pembayaran bunga. Keadaan tersebut mempunyai
cara untuk mengatasinya yaitu dengan menawarkan secara resmi (perantaraan
seorang notaries atau seorang jurusita pengadilan), barang atau uang.
iii.
Pembaharuan utang
ialah suatu pembuatan perjanjian baru yang
menghapuskan suatu perikatan lama sambil meletakkan suatu perjanjian baru.
iv.
Perjumpaan hutang (compensasi)
ialah jika
seorang yang berhutang mempunyai suatu piutang, sehingga dua orang itu sama-sama
berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang
antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.
v.
Percampuran hutang
ialah jika
siberpiutang dalam percampuran kekayaan. Siber piutang atau jika siber piutang
menggantikan hak-hak siber piutang karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya.
vi.
Pembebasan hutang
Yaitu suatu
perjanjian baru dimana siber piutang dengan suka rela membebaskan siber hutang
dari segala kewajiban, Pembebasan itu diterima baik oleh siber hutang.
vii.
Musnahnya benda yang berutang
Menurut pasal 1444 KUH.Pdt. jika suatu barang tertentu yang dimaksud
musnah/hapus karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak
boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keberadaannya, maka
perikatan menjadi hapus, asal saja hapus/musnahnya barang itu sama sekali
diluar kesalahan siberhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkan.
viii.
Pembatalan perjanjian
Yaitu dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap
untuk bertindak sendiri, dibuat karena paksaan, kehilapan atau penipuan ataupun
mempunyai sebab yang bertentangan dengan unang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa
keadaan antara dua pihak dikembalikan. seperti : pada waktu perjanjian belum
dibuat.
ix.
Berlakunya syarat batal
Yaitu waktu membahas perikatan
bersyarat. Hal ini yang perlu diingatkan lagi ialah bahwa dalam hukum
perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamnya berlaku surut hingga
lahirya perjanjian.
x.
Lewat waktu/daluwarsa
Yaitu perihal lewat waktu/daluwarsa secara khusus akan dibahas dalam
buku IV KUH.Pdt.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar